📢 Selamat datang di media JURNALPAPADAAN.blogspot.com, memasuki umur media JP yang akan mendekati 4 Tahun di bulan maret 2025 nanti, media JP akan terus berupaya meningkatkan performa website dan isi konten berita maupun lainnya, untuk itu kami menerima donasi untuk membangun media ini agar lebih profesional lagi, bantuan dapat dikirim via walet dana di nomer 085822262967. Atas bantuan anda semua kami ucapkan terimakasih
Our Feeds
Admin Jurnal Papadaan

Saranjana Karya Padmi Asmadiwati


Cerita misteri suatu kota mengundang rasa keingintahuan yang besar. Rasa penasaran tentang desas-desus masyarakat membuat kita tidak pernah menemukan titik muara kebenaran yang pasti. 

Saranjana adalah kota tak kasat mata yang berada di daerah Pulau Laut Kotabaru Kalimantan Selatan.

Konon kabarnya terdengar berita dari mulut kemulut tentang Kota Saranjana, sejak dulu.

Anehnya setiap orang yang sudah masuk ke Kota Saranjana, mereka tidak ingin pulang ke alam nyata karena takjub dengan keindahan kotanya.

Untuk kebenarannya tidak ada yang tahu semuanya masih menjadi tanda tanya yang tak bisa dipecahkan sampai sekarang.

Sebut saja Daffa seorang pengusaha muda dari Jakarta yang baru saja menginjakan kakinya di Kalimantan Selatan untuk mengelola bisnis batubara.

Daffa mencoba membuka peluang bisnis ke Kalimantan dengan harapan bisa lebih maju dari sebelumnya. Karena menurut kabar Kalimantan adalah surganya bagi para pengusaha.

Sebelum sampai ke Kotabaru, Daffa turun di Bandara Syamsudinoor Banjarmasin, kemudian menuju ke Kota Batulicin Tanah Bumbu sekitar 6-7 jam kemudian menyeberang naik kapal fery di pelabuhan batulicin menuju Kotabaru.

Berhubung hari sudah sore, Daffa akhirnya memutuskan untuk menginap di Hotel Ebony Batulicin.

Di hotel itu Daffa berkenalan dengan seorang yang baik hati dan ternyata salah satu pegawai hotel situ, namanya Dara, gadis yang cantik rupawan. 

Namun sayangnya Daffa baru saja menikah, jadi ia tak ada niat lain kecuali hanya berkenalan biasa saja sambil mencari informasi tentang Kalimantan.

Maklum ia tak punya saudara di Kalimantan. Anggap saja ia punya kawan baru di situ.

“Maaf, Bapak mau kemana sebenarnya?” tanya Dara petugas hotel itu tiba-tiba saat Daffa santai di lobi hotel.

Dara melihat sepertinya tamunya orang asing bukan orang daerah sekitar melihat penampilan Daffa yang agak lain dari pengunjung lainnya dan seorang diri di situ.

“Oh saya Daffa mba, saya mau ke Kotabaru, ke Kota Saranjana.” Jawab Daffa.

Begitu mendengar kata Saranjana, gadis itu terperanjat kaget.

“Ke Saranjana?” Dara mencoba mengulang perkataan Daffa.

“Iya Saranjana, memangnya ada apa dengan kota Saranjana?” sekarang ganti Daffa yang kaget dibuatnya, karena melihat ekspresi Dara yang nampak pucat setelah mendengar kata Saranjana.

“Oh enggak apa-apa pak.”

“Saya kok jadi penasaran ya, boleh kah saya tanya sesuatu ke mba Dara?”

Akhirnya Dara mendekat duduk di samping Daffa sambil mencoba menenangkan hatinya yang tak karuan.

“Sebenarnya saya tak mau cerita pak, tapi gimana ya, mungkin orang gak akan percaya sama cerita saya.”

Dara sambil melirik ke kanan ke kiri kalau-kalau ada orang yang mencurigainya. 

Padahal di Hotel gak ada satupun yang memperhatikan mereka berdua.

Karena pekerjaannya sudah selesai di hotel, seharusnya ia pulang karena sudah ganti ship, tapi Daffa memintanya untuk menemaninya sementara ia istirahat di Hotel tersebut.

“Sekali ini tolong kamu cerita ke saya, karena saya buta tentang Kalimantan dan baru pertama kali  ini saya ke sini, insyaalloh saya percaya kamu nggak akan membohongi saya.”

Daffa berusaha untuk membujuki Dara agar mau bercerita tentang kota yang mau ia tuju yaitu kota Saranjana.

“Untuk apa Bapak mau ke Saranjana?”

“Oh itu, saya mau buka usaha tambang di sana, saya mau survey dulu ke sana kalau cocok baru saya akan bawa partner saya ke sana.”

“Kalau bapak percaya saya, sebaiknya bapak urungkan niat bapak ke sana.”

“ Lo kenapa mbak?”

“Saya pernah ke sana pak sama ibu saya, saya berjualan pentol dan batagor untuk menyambung hidup saya setelah bapak saya meninggalkan ibu saya. Tahu-tahu saya dan ibu saya terdampar di sebuah kota yang ramai sekali penduduknya, dan kota itu indah sekali, belum pernah saya lihat di kota lain.”

Dara sangat antusias sekali bercerita, sementara Daffa serius mendengar cerita Dara gadis ayu pelayan hotel yang baru dikenalnya itu.

“Terus….”

“Dagangan kami laris manis pak, tapi suatu saat entah kenapa saat saya berjualan sendiri, waktu itu ibu saya baru ke toilet dekat masjid di seberang tempat kami berjualan pentol dan batagor, saya perhatikan baik-baik, orang-orang yang membeli dagangan kami yang semula terlihat cantik-cantik dan tampan, berubah seperti alien, mukanya rata semua. Kemudian saya tahu-tahu pingsan.” 

Kemudian Dara berhenti sejenak seperti tercekat tenggorokannya. Daffa pun langsung memberinya air aqua yang ada di atas meja lobi hotel tersebut.

“Ini kamu minum dulu.”

“Setelah itu saya sering sekali pingsan dibuatnya pak, terkadang saya teriak-teriak histeris seperti orang ketakutan dan kesetanan. Kata orang-orang saya kesurupan, terus menyuruh ibu saya untuk membawa saya berobat ke tabib atau orang pintar.”

“Terus apa yang dilakukan ibumu”

“Ya karena ibu saya juga orang awam menuruti saja kata orang-orang. Setelah dagangan kami habis dan mendapat uang banyak kami terus pulang malam itu juga ikut taksi yang sering kami tumpangi menuju Batulicin.”

“Akhirnya kamu bisa pulang?”

“Iya, sesampai di rumah kami terus mandi dan istirahat, terus membuka kaleng tempat uang kami saat jualan, eh ternyata…”

“Ternyata apa mba?”

“Di kaleng kami gak ada uang sama sekali, padahal sebelum pulang dan menyeberang kapal, kami lihat kaleng tempat uang itu banyak sekali uangnya, ada yang limah puluh ribu, duapuluh ribu, sepuluh ribuan bahkan ada beberapa uang ratusan ribu. Uangnya berubah jadi daun.”

Daffa mendengar hal itu rasanya antara percaya dan tidak, rasanya semua kejadian yang diceritakan Dara itu aneh dan tidak masuk akal. Tapi ia yakin kalau Dara tidak berkata bohong.

“Terus apa yang kamu lakukan sama ibumu?”

“Yah ibuku sempat syok juga melihat kejanggalan itu. Terus kami ketempat orang pintar, katanya memang di Saranjana kota penuh misteri itu ada, dan semua ghaib. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat kota itu dan sampai ke situ, ada pula yang hilang tak bisa kembali pulang. Dulu pernah ada orang dari Jakarta mengirim alat-alat berat katanya ada pengusaha dari Saranjana pesan alat berat tersebut, setelah alat dikirim ternyata gak ditemukan kota Saranjana tersebut.”

Mendengar cerita Dara, Daffa jadi merinding sendiri, bulu kuduknya berdiri dan bergelayut perasaan aneh menyelimuti pikirannya. Ia jadi berfikir dua kali untuk melanjukan perjalanannya Ke kota Saranjana.

“Terus apa yang kamu lakukan setelah peristiwa itu?”

“Saya dan ibu saya dirukiyah sama Habib, dan didoakan untuk keselamatan kami berdua, setelah itu kami tak berani lagi jualan ke sana, kami membuka usaha batagor di Batulicin saja, dan saya melamar jadi pelayan hotel disini, atas bantuan Habib yang mengobati kami kebetulan kenal sama yang punya hotel ini.”

“Maaf apa mbak ini indigo ya, jadi bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata atau barang-barang yang ghaib?”

“Iya, kata guru saya saya punya indera keenam dan indigo, jadi saya harus banyak-banyak dzikir dan sholawat agar pikiran saya gak kemana-mana dan tak mudah kerasukan kata guru spiritual saya.”

“Oh, syukurlah kalau begitu, makasih banyak ya mbak informasinya, untung saya ketemu mbak Dara, coba kalau enggak, bisa-bisa saya terdampar di sana dan tak bisa pulang, kasihan istri saya.”

“Iya untung ya pak, kalau bapak jadi ke sana siapa tahu bapak disukai makhluk penghuni sana dan gak bisa pulang ke Jakarta gimana?”

Dara mulai menggoda dan menakut-nakuti Daffa, Mereka berdua akhirnya tertawa, padahal dalam hati ketakutan juga setelah mengetahui cerita tentang kota Saranjana.

“Makasih ya mbak, saya berterimakasih sekali sudah mbak kasih tahu, insyaalloh saya besok gak jadi ke Saranjana saja, saya mau mencari di daerah sini saja, siapa tahu saya bisa membuka usaha di sini, doakan ya mbak.”

“Oh iya pak, maaf ya kalau gara-gara saya bapak gak jadi kesana.”

“Gak apa-apa mbak, justru saya yang berterima kasih sama mbak, oh ya rumah mbak dimana, mau pulang malam ini juga?”

“Oh saya daerah sini saja kok pak, paling sepuluh menit sampai rumah saya, maaf saya permisi pulang dulu ya pak, selamat beristirahat.”

Kemudian Dara beranjak dari lobi hotel melangkah untuk pulang setelah berpamitan dan mengucapkan selamat malam sama Daffa. 

Malampun semakin larut, Daffa  segera beranjak menuju kamar hotel tersebut. Cerita Dara gadis pelayan hotel tersebut masih terbayang dalam ingatannya tentang kota yang penuh misteri Kota Saranjana. 

Untuk menghilangkan rasa takutnya, Daffa kemudian mengambil air wudhu untuk sembahyang Isya sekalian membaca surah yasin yang ia bawa kemana-mana dalam tas ranselnya. Ia berharap bisa istirahat malam itu tanpa gangguan apapun, apalagi tentang cerita misteri kota Saranjana.


****SELESAI****


BIODATA PENULIS


Sri Supadmi, S.Pd adalah nama asli dari Padmi Asmadiwati, lahir di Klaten Jawa Tengah, 09 Agustus 1973. Sarjana S1 UNY Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. 

Alamat rumah: Jl. Valgoson, No. 34, Rt.5, Desa Binawara, Kec. Kusan Hulu, Tanah Bumbu, Kalsel.

WA : 081349680197, IG/FB : Padmi Asmadiwati, email: srisupadmi_smpn1khulu@yahoo.com



Editor : Ahmad Riyan Nailanie, S.Pd.


Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »

1 Post a Comment:

Write Post a Comment
Ickh-0l
AUTHOR
November 19, 2020 at 9:39 PM delete

Mantaaaaap..habiiiis.....karyanya .....

Reply
avatar