rindu bertaut benci di antara
luka mendalam
Aku memungut makna
sejak perpisahan kita
(Kotabaru, 23 November 2017)
Sudah lama sejak perpisahan itu, kita tak saling bicara. Bangunan tua tempat beradu kata pada pemilik hati yang saling mencintai telah ditumbuhi belukar lebat.
Tak ada satu jawabanpun yang berbisik di langit senja ketika matahari mulai kembali ke tempat tidurnya.
“Ah, masa bodoh, kenapa aku selalu memikirkannya,” ucapku menggerutu.
Kulanjutkan perjalanan ke dalam bilik-bilik bangunan ketika malam menyelimuti asa dalam sepi yang bertaut kenangan.
Di sinilah aku mulai mengukir sajakku dengan pena, membayangkan sekelebat aroma gubuk tua yang sudah lama menyimpan cerita.
Dulu ketika camar merindukan bulan, kami duduk dalam alunan waktu, bercumbu mesra menghabiskan seperempat malam dalam balutan tawa bahagia.
Sabrella, itulah nama wanitaku! empat tahun lamanya dia pergi tanpa berbelas kasih untuk kembali.
Kudengar dia sudah berbalas cinta dengan seseorang yang telah memekarkan hatinya.
“Laki-laki itu bernama Syam!” ucap batinku.
Mendengar namanya membuatku tak ingin melihatnya.
“Aku marah ...., aku kesal ....,” gerutu batinku. Takku sangka wanita yang pernah kuperjuangkan dan kulindungi dari beberapa fitnah mantan kekasihnya begitu cepat menghapusku dari jejak hatinya.
Amarahku belum kunjung reda, kucoba menenangkan batin dan bercengkrama dalam sajak yang kutulis.
Semilir angin membawa kepalsuan
Di bilik-bilik kolong hati
Kau bersembunyi
Lari dari
kenyataan
Aku melihatmu
tak bertuan
(Kotabaru, 24 November 2017)
Malam semakin memekat, saatnya untuk mengistirahatkan imaji cerita yang berbalut kisah lama. Dunia ini tak akan kaya tanpa dunia imaji yang selalu menghidupkan kisah dari dunia nyata atau fiktif belaka.
Aku sangat menikmati duniaku karena inilah jalanku beradu dalam kesepian jiwa.
Keesokan harinya seperti biasa, aku kembali mengayuh langkah kecilku mengitari batas-batas kota, menikmati setiap belaian kasih angin.
Duduk di antara barisan gerumunan orang yang berpadu kasih dengan mesranya.
Tak sengaja wanita yang kulukis dalam ribuan sajak hati berpapasan denganku.
Persis sama di hari perpisahan itu. Tak banyak kata, semua senyap, hanya kedua mata yang saling berpandangan seperti ada misteri yang tak terpecahkan.
Kuberanikan diri untuk menyapa walau ragu membusuk dalam asa.
“Apa kabar Ella, sendiri saja,” ucapku singkat.
Matanya tajam menatap ke arahku kemudian berkata, “Iya kak, aku kebetulan lewat.” Sahutnya terkejut.
Entah apa yang dia pikirkan saat itu, kulihat bias wajahnya seperti menandakan rasa yang sama. Setelah percakapan singkat itu, dia pergi meninggalkan sejuta makna dari wajah lugunya.
“Ah, masa bodoh, kenapa aku memikirkannya lagi,” ucapku menghela nafas.
Lagi-lagi perasaan ini membuat kepalaku ingin memuntahkan bebannya. Rasa muak dengan pikiran yang seakan ingin kembali kepadanya.
Namun aku teringat setelah perpisahan kami beberapa tahun yang lalu dia sempat menulis sajak terakhir.
Tubuh saling bersandar
Kearah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saatku menanti fajar
Sudah kucoba berbagai cara
agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut kuhilang
(Kotabaru, 14 Januari 2017)
Sajak yang dia tulis di beranda media sosial membuatku tersadar dalam harapan-harapan yang membuatku lupa akan makna perpisahan. Perpisahan memang membawa sejuta kesedihan dalam setiap insan.
Namun percayalah akan ada hikmah dalam setiap peristiwa hidup yang dialami. Dan aku memahami Tuhan menitipkan bukan untuk mempersatukan.
Malam sudah nampak dalam pelita, menandakan kidung pengantar tidur sudah terdengar. Aku belum juga memejamkan mata dan mengistirahatkan pikiran yang sudah berkecamuk.
Wajahnya dipertemuan singkat itu selalu menjadi pertanyaan batinku, “Kenapa sesingkat itu bertemu?” tanyaku.
Mulai kutelusuri makna tentang pertemuan singkat, mungkin saja ini awal untuk setiap baharu kisah dalam perjalananku.
“Seharusnya dia juga merasakan kerinduan itu!” teriak batinku yang seakan ingin mengiba kepadanya.
“Ah, aku lelah!” sahutku.
Kututup jendela pikiran dan beristirahat sejenak dalam mimpi dan angan-angan tentangnya.
Keesokan harinya, pagi menyambutku dengan wajah baru dan angin terasa ingin berbisik menyampaikan pesan rindu.
Perlahan kukayuh langkah kecilku untuk mengitari bibir pantai. Aku ingin bercengkrama dengan gelora laut dan bersyair di atas karang.
Tak kunjung juga kutemukan isyarat peraduan kasih dipertemukan. Padahal aku sangat berharap berjumpa di pantai ini.
Namun tiba-tiba hujanpun turun deras ketika senja menampakkan dirinya dari peraduan rindu yang mengukir namamu dalam sajak terakhirku.
Sabrella engkau tahu
inginku lebih dari
pertemuan rindu
Selalu namamu
yang mengusik
asaku
Adakah jawaban untuk penantian?
Kau hanya membisu
Diam tanpa kata
Membawa sejuta arti
untuk tetap menunggu
(Kotabaru, 25 November 2017)
Itulah sajak terakhir yang kukirim lewat hujan di kala senja.
Membisikkan kerinduan yang mendalam bagi asaku. Entah dipersatukan kembali dalam episode selanjutnya atau hanya bersahabat. Aku akan tetap menunggu walau tak berbalas.
****END****
BIODATA PENULIS

Ahmad Riyan Nailanie, S.Pd. Adalah nama asli dari Nayla AR, lahir di Kotabaru, 28 Mei 1993. Sarjana S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP Paris Barantai Kotabaru.
Alamat rumah: Jl. Perumnas II Blok D Desa Semayap RT.13 RW.02 di Depan Kantor CV. Ranu Sunu Hasta Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan.
WA : 081257725367, IG/FB : riyanahmad_28, email : riyannailanieahmad@gmail.com
Editor : Ahmad Riyan Nailanie, S.Pd.

