📢 Selamat datang di media JURNALPAPADAAN.blogspot.com, memasuki umur media JP yang akan mendekati 4 Tahun di bulan maret 2025 nanti, media JP akan terus berupaya meningkatkan performa website dan isi konten berita maupun lainnya, untuk itu kami menerima donasi untuk membangun media ini agar lebih profesional lagi, bantuan dapat dikirim via walet dana di nomer 085822262967. Atas bantuan anda semua kami ucapkan terimakasih
Our Feeds
Admin Jurnal Papadaan

Puisi Mauliya Nandra Arif Fani | Kenangan Arloji

Ilustrasi puisi ini diambil dari situs resmi Pixabay.com yang menyediakan gambar gratis tanpa melanggar hak cipta

Telah berlalu masa itu
Hari sore, di mana angan
Menjadi berseri oleh angin lembut
Yang melabuhkan kapal-kapal tembaga
Para nenek moyang
Tenang danau jiwaku
Sedang imaji mengepakkan sayap
Ke pulau Jeju

Sebelumnya aku sempat mengira
Kalau pertemuan itu
Takkan mungkin tiada jejak
Lukisannya terlalu cerah
Pada kanvas jemari
Yang dapat kugenggam kapanpun
Dan tentu bukanlah cerita
Pada mitologi bangsa Yunani

Diam-diam jalannya waktu
Masih ditemui kerlipan permata
Melalui gelombang elektrik
Hasil keindahan alam
Semesta pikiran fisikawan
Kami saling jumpa
Dalam kedipan mata
Di atas ranjang kamar euforia

Dengan bahasa penduduk langit
Kami beradu kata
Melembutkan cinta hingga kebijaksanaan
Yang pernah tertulis
Di prasasti istana Mulawarman
Kini, menjadi titah
Bagi bocah berusia sepuluh tahun
Yang mengemban cinta kasih ibunda

Purwokerto, 13 November 2019 

Kampung Kehidupan

Saat purnama bergaun putih
Bersinggah di kerajaan langit
Menjadi ratu di antara beribu bintang
Larut kian membisu
Detakkan waktu telah mengganti
Bulan dengan hangat mentari
Semilir lembut angin menari
Mengajak dedaunan untuk bernyanyi
Indah bunga hias halaman
Bersama harumnya menawan
Dengan kumbang bunga berpelukan
Bagi mereka selalu menguntungkan
Sang sinar menyuruh
Butiran embun untuk menjauh
Rambut pepohonan memayungi
Luasnya bunda pertiwi
Biar tak seperti di padang Arafah
Panasnya semakin memarah
Menjadi kampung selalu dirasa
Tak terabaikan dalam sukma
Sekalipun kujauh pergi
Sampai gelap waktuku nanti

Banjarnegara, 2018

Pada Malam yang Dinanti

Berduyun orang sedusun
Meramaikan jalanan kompleks
Membawa searak obor
Dan putranya mengapit
Di antara ibu bapaknya
Menanda ada sesuatu yang besar
Terjadi di sana
Ketika malam tiba,
Asap motor berubah
Menjadi dentuman besar di pusat kota
Sehingga terjagalah orang-orang yang berselimut
Kayu, dalam kobaran api yang hangat
Akupun mengira kalau waktu
Telah merajam kekasih-kekasih orang
Yang berlalu lalang menyadap kebebasan

Aku mendengar rintihan guruh
Yang setelah membentak langit,
Ia menghambur api
Lalu meredam di atas
Kumpulan warna yang berkelip
Menjadi lambang bergantinya waktu
Mengalahkan bulan dan gemintang
Kala malam berganti siang
Mereka tidak mengingat
Akan tangisan anak Pulazi
Darah mengalir di wajahnya
Merindukan teman surganya
Yang sebenarnya ia tak rindu juga
Tercatat puluhan gemuruh
Telah menculik nyawa-nyawa kecil
Beserta pangkuannya

Saat bunga api habis
Kota kembali ke ruang sunyi
Awan kepada naungannya
Sebagian orang kembali
Pada kebun yang buahnya manis
Lagi menyejukkan di tengah hari
Ada juga yang memaki-maki
Karena batang pohonnya kering meronta
Terkira jalanan pagi
Sudah ditimpa mentari hangat
Dan embun dedaunan
Telah menguap kembali

Purwokerto, 1 Januari 2019

Pengembara Pertemuan

Mendengar seok langkahmu
Tak ubahnya seperti alunan musik klasik
Di zaman Renaisance
Dengan simpul yang terbawa di bibir
Memastikan waktu sampai di pangkal temu
Aku mengayunkan langkah di tempat
di tepi kota

Pada titik bertemunya
Empat kaki kita
Aku mengatur irama dadaku
Seakan yang kulihat adalah semu
Dari bayang-bayang raja Goryeo
Akupun mengatur pewarnaan pipiku
Bila menjadi semerah sendu
Maka kau horison
Di cakrawala langit kita

Ada sejumlah cerita kecil
Dari tujuh musim gugur lamanya
Siapapun terjebak dalam masa lalu kita
Adakah yang percaya 
Bila aku mengulurkan tanganku
Sedang dahulu hanya dalam imaji

Tangan telah menggandeng tanganmu
Dan mata telah menjadi satu fungsi
Memandang ke arah yang sama
Maka di zaman inilah
Aku seperti putri Dong Yi
Di hadapan raja Joseon
Kasihmu tak kira-kira
Melimpahi luasnya lautan usiaku

Purwokerto, 22 Januari 2020 

Perempuan Sepanjang Waktu

Air matanya adalah mahasabar
Di atas kasur penuh rindu
Pada buah hati yang melekat cinta
Yang namanya diabadikan
Dalam udara malam

Bahagianya adalah mahaluas
Kala si mungil puas
Melahap sayur tanpa bahasa kias
Tertawanya lepas
Membawa girang lari kecilnya
Yang landas

Nyanyiannya adalah mahaindah
Untuk tangis pemecah malam
Hingga merah pada matanya
Dan kembali kepada mimpi
Kecil yang penuh nada suci

Doanya adalah mahasuci
Untuk seluruh nama
Yang pernah di rahimnya
Mengantarnya ke panggung dunia
Hingga waktu yang paling senja

Hanya iman yang siap sedia
Membawa diri ke hangat peluknya
Sebelum ujung dunianya
Hingga pakaian tergantung 
Di kamar kosongnya

Purwokerto, 9 Desember 2018

Foto Mauliya Nandra Arif Fani | Ryn/Jp

Mauliya Nandra Arif Fani, berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Sekarang menempuh pendidikan S1 di IAIN Purwokerto, Pendidikan Agama Islam. Ia aktivis di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. 

Karyanya dimuat di simalaba.net, koran Kabar Madura, tembi.net (dibukukan dalam antologi berjudul Mata Air Hujan di Bulan Purnama), dan buku antologi puisi seperti 100 puisi terbaik Lomba Cipta Puisi ASEAN IAIN Purwokerto, Antologi Pilar Puisi 5 IAIN Purwokerto, Lomba Cipta Puisi Rumah Kreatif Wadas Kelir, 100 puisi terbaik Lomba Puisi Nasional Antologi Kata, 250 puisi terbaik Lomba Puisi Sahabat Inspirasi Pena, dan pernah jadi juara 3 Lomba Puisi Nasional Event Hunter Indonesia sehingga berkesempatan melakukan kunjungan sastra ke Singapura. 

Penulis dapat dihubungi dinomor 085726377842. Email aktif mauliya.nandra@gmail.com. Facebook Mauliya Nandra Ariffani. Instagram @mauliyanandra.

Editor : Ryn/Jp




Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »