📢 Selamat datang di media JURNALPAPADAAN.blogspot.com, memasuki umur media JP yang akan mendekati 4 Tahun di bulan maret 2025 nanti, media JP akan terus berupaya meningkatkan performa website dan isi konten berita maupun lainnya, untuk itu kami menerima donasi untuk membangun media ini agar lebih profesional lagi, bantuan dapat dikirim via walet dana di nomer 085822262967. Atas bantuan anda semua kami ucapkan terimakasih
Our Feeds
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Admin Jurnal Papadaan

Terjebak Cinta Gila Karya Padmi Asmadiwati

(Foto dilansir dari situs pixabay.com)


Plaaak.....!!!
"Aduh sakit tau..." Jeritku saat tangannya menampar mukaku.
"Makanya matanya jangan nakal gitu, ga bisa lihat cowok ganteng...!" katanya sambil menarik tanganku untuk segera pulang setelah selesai belanja di Matahari Mall.

Kami berdua akhirnya pulang. Di perjalanan aku diam saja menahan marah, aku merasa sakit hati ditampar seenaknya. Tangannya keras lagi seperti besi, mukaku terasa memar. Sakitnya bukan hanya karena kena tampar tetapi juga karena rasa malu karena di depan umum.

Dia kulihat seperti tak ada rasa bersalah. Dia asyik bernyanyi dan bersiul disepanjang jalan sambil menggandeng tanganku seperti  tak mau lepas. Aku diam saja, mau melepaskan tanganku rasanya sulit karena kuat sekali genggamannya, jadi aku pasrah saja, aku masih jengkel sama dia.

"Hei dik, kok dari tadi diam saja, marah ya sama aku?" tanyanya mencari perhatianku.
Aku masih tetap diam saja, aku malas menjawabnya.

Sampai akhirnya kami sampai rumah kos, aku langsung menuju kamar dan kututup rapat-rapat, aku ga mau diganggu dia. Entah apa yang dia pikirkan tentang aku.

Dia mengetuk kamarku kuat-kuat, tapi tetap tak kuhiraukan. Aku pura-pura tak mendengarnya.

Sampai keesokan harinya, aku bergegas ke kampus. Aku masih ingat peristiwa malam itu. Aku benci dia.

Dia yang kuanggap teman baik, sahabat bahkan seperti saudaraku sendiri, karena selama ini dia baik sama aku, sayang aku, perhatian sama aku, kukira dia tulus baik sama aku. Aku tak habis pikir, kenapa dia tega menamparku seperti itu hanya karena aku melihat cowok ganteng secara tak sengaja waktu berpapasan di tangga eskalator Matahari Mall malam itu.

Rasanya aku jadi males pulang ke kos, aku malas ketemu dia. Dia adalah tetangga kosku.

Tapi hari mulai malam, di kampus acara sudah selesai kuliah, aku bingung mau kemana.

Hingga akhirnya ada kaka kelasku menawarkan jasa baiknya padaku.

"Dik sudah mau malam kok ga pulang?"
"Iya nih mas, rasanya malas aja mau pulang ke kos."
"Kuantar kamu pulang yuk, sekalian aku mau ketempat kawanku searah dengan kosmu."
"Ga merepotkan mas."
"Ah enggak kok, ayo lekas naik." 

Akhirnya aku dibonceng mas Jon menuju kosku.

"Dik, boleh aku main ke kosmu."
"Eh ada apa mas, katanya tadi mau ke tempat teman mas."
"Mau main saja ke kosmu, kebetulan baru ada kesempatan tadi."

Yah terjebak aku, pikirku. Kenapa aku dengan mudah kena jebakannya.

Aku tahu dari dulu mas Jon pengen main ke kosku, tapi aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Kenapa aku tadi mau saja dia boncengin aku. Mungkin karena perasaanku lagi kacau jadi aku ga pikir panjang.

Ya sudahlah yang terjadi terjadilah aku pasrah nasib saja.

"Kosku jelek mas," kembali aku mencari alasan.
"Ga apa-apa yang penting penghuni kosnya ga jelek," dia mulai menggodaku.
Sesampai di kosku, aku langsung turun dan mempersilakan mas Jon masuk ke ruang tamu.
"Bentar ya mas kubikinkan minum dulu."
"Ga usah repot-repot dik, sudah kamu di sini saja temani aku.

Akhirnya aku kembali duduk di hadapannya.

Baru saja duduk dan mulai mau bicara, tiba- tiba ada suara hentakan keras dari luar kosanku. Disusul suara braak, sepatu kets melayang di atas ruang tamu mengenai dinding tembok kosanku, karena kaget aku berdiri. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadirannya, si dia lagi berkacak pinggang di muka pintu.

Aku semakin jengkel dan marah dengan kelakuannya yang semakin kurang ajar.  Apalagi dia semakin gila seperti itu. Aku jadi malu sama mas Jon.

"Hei, kamu siapa, beraninya kamu apel kesini?" bentaknya hingga mas Jon kaget.
"Maaf, saya kakak kelas Denok, ya sudah kalau begitu saya pamit pulang."
Akhirnya mas Jon permisi pulang.

Aku semakin tak habis pikir atas kelakuannya.

Dia langsung marah sama aku. Tubuhku di pepetnya di dinding kamar tamu. Aku tak berdaya, tatapan matanya mengerikan, aku tak bisa bergerak, badanku panas dingin dia tatap mataku kuat-kuat, tangannya mencengkeram tubuhku.

"Tolong- tolong...," Aku teriak sekuat tenaga. Hingga semua teman kosku keluar.
"Ada apa nih, dik lepaskan dia...," kata mba kosku yang paling tertua di kos kami.

Akhirnya dia melepaskan aku dari cengkeramannya. 

"He hee, kami main-main aja kok."
Katanya kemudian dia pergi dan berlalu.
"Kamu ga apa-apa dik," tanya mba kos ku yang bernama mba Pur, dia paling tua dan paling lama menjadi penghuni kos kami.
"Eh engga apa-apa kok mba," jawabku pendek.
"Ya sudah kalau ga pa-pa, sudah kamu masuk kamar dik tenangkan hatimu."
"Iya mba makasih ya mba."

Setelah kejadian itu, sebulan dia tak main ke kosku. Kata temannya dia pulang ke kampungnya ada masalah keluarga katanya.

Aku merasa aman dan kembali ke rutinitasku di kampus dan sanggar.

Suatu ketika dia balik ke kos dia nampak baik sama aku, ga ada lagi marah dan kejengkelan. Kupikir dia sudah berubah.

Saat aku mau balik ke kampung, dia mau ikut, aku sudah melarangnya tapi dia nekat mau ikut. Ya sudahlah pikirku daripada berantem. Kami berdua balik naik bus kerumahku, sekitar 1 jam dari kos munuju kerumahku.

Sesampai di rumahku, ia disambut baik oleh keluargaku. Orangnya ramah dan baikan kata ibuku saat pertama ku kenalkan sama ibu.

Waktu malam tiba, sehabis makan malam seperti biasa kami sekeluarga nonton tv di ruang tengah. Bapak dan ibuku duduk di sofa. Aku dan dia duduk di tikar depan tv. Tiba-tiba tangannya memelukku kencang sekali. Aku malu sama bapak ibuku. Kulepaskan pelukannya, aku mulai menghindarinya dengan alasan aku kebelakang ambil minuman dan makanan kecil di dapur.

Kemudian ibuku tau-tau sudah berada di sampingku.

"Nok, tak baik seperti itu, kenapa dia peluk- peluk kamu?" sepertinya ibu melihat gelagat tak baik dari temanku.
"Iya bu, maaf, nanti kutegur dia."
Kemudian aku kembali keruang tengah bersama ibuku.

Mungkin perasaan ibuku ga enak melihat kedekatan aku dengan dia. Saat kami pamit mau ke kos, kembali ibu mengingatkan aku agar aku hati-hati dan ga boleh terlalu mesra atau akrab dengan dia.

Setiba di kos aku masih berpikir dan terasa terngiang-ngiang pesan ibuku. Aku berusaha mengambil cara gimana agar aku tak selalu berdua dengannya. Aku mulai menyibukkan diri di kampus agar tak sering ketemu dengannya.

Namun suatu malam ada mbak kosku kekamarku dan bercerita tentang dia.

"Dik, tumben sekarang kamu jarang di kos."
"Emang ada apa mba."
"Engga ada apa-apa sih, cuma kasihan tuh si dia mencari-cari terus setiap ke sini."
"Emang dia kesini terus mba?"
"Iya, dan kayak orang kehilangan banget, katanya dia kangen kamu, sampai-sampai dia ciumi fotomu dik yang ada di albumku."
"Hah, mosok kayak gitu mba?"

Aku tak habis pikir sampai segitunya, aku jadi semakin takut sama Dia.

"Dik kamu hati-hati ya sama dia."
"Mba aku jadi takut."
"Dia itu broken home dik, jadi kelakuannya seperti itu, mungkin karena lingkungan juga ya dia seperti itu, kasian sebenarnya."
"Mba aku sebenarnya ga ada apa-apa sama dia, cuma akhir-akhir ini kelakuannya aneh."
"Aneh gimana dik?"
"Ya itu, mba, setiap ada cowok yang apel sama aku, dia marah-marah, sampai-sampai dia pernah menamparku di Mall, gara-gara aku lelek-lelekan sama cowok."
"Ha haa, cemburu berarti dia dik."
"Cemburu gimana, maksudnya mba?"
"Sepertinya dia mencintaimu dik"
"Aduh mba gila apa?"
"Iya gila mungkin, kulihat setiap kamu ga ada, dia kalang kabut mencari, sampai fotomu diciumnya, apa ga gila itu, beruntung kamu dik banyak yang jatuh cinta, sampai diapun juga jatuh cinta sama kamu."

Mba Pur mulai meledekku. Tapi benar juga setelah kupikir-pikir, ada yang aneh dengan kelakuannya selama ini. Kenapa aku baru sadar ya. Peristiwa demi peristiwa, sampai ibuku saja sempat curiga, mas Jon kakak kelasku yang saat itu main ke kosku juga curiga sama dia. Tapi waktu itu aku belum menyadarinya. Kupikir hanya karena dia terlalu sayang sama aku hingga kelakuannya seperti itu.

Lama-lama aku tambah yakin akan kelakuannya kepadaku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Tetap dekat dengannya aku jadi ikut gila, aku masih normal, aku selama ini terkekang karenanya, aku ga boleh pacaran sama si A si B dan si C, katanya nanti gini, gitu, mungkin itu caranya untuk mengendalikan aku dan aku terjebak olehnya.

Dari nasehat ibuku, mbak Pur teman kosku, teman kampusku, kakak kelasku, mereka semua menyarankan agar aku menjauhinya. Namun dia mengancamku, setiap aku akan menjauhinya. Dia terlalu berkuasa terhadapku. Sampai suatu saat dia menangis memelukku kuat-kuat saat aku mau pergi, dia menciumiku, aku semakin risih, kuhempaskan pelukannya sekuat tenagaku, aku menjerit, akhirnya dia melepaskan aku. Dia bilang tersiksa karena aku pergi meninggalkannya, dia bilang sangat butuh aku, tapi aku tak bisa, aku tak sanggup, aku ingin bebas darinya, aku ingin hidup dengan caraku sendiri. Aku punya cinta sama yang lain, aku ingin menjauh darinya.

Dengan kekuatan hati aku mencoba melupakannya, meninggalkannya, meskipun aku tau dia sangat menginginkan aku, karena dia bilang dia sangat mencintaiku. Tapi cinta macam apa pikirku. Aku tak sanggup mencintainya, cinta gila sungguh-sungguh gila, aku takut, aku benci, aku jijik. Ah, aku segera membuang jauh kenangan pahit dengannya. Aku harus segera pergi dan menjauhinya.

Dia berteriak memanggilku, tapi aku berusaha menutup rapat-rapat telingaku, aku tak akan menoleh kebelakang, aku takut karena rasa kasihan dan iba justru akan membuatku jatuh dalam pelukannya.

Aku semakin mempercepat langkahku menuju motor mas Jon yang sudah siap menungguku untuk mengantarkan aku pindah kos dari situ.

Disepanjang perjalanan mas Jon menggodaku.

"Hebat kamu dik sampai dia tergila-gila sama kamu."
"Ah jangan sebut lagi nama dia, aku turun nih."
"Jangan sayang..."
"Hei apa kau bilang mas."
"Sayang, jangan turun."

Kembali mas Jon mengucapkan itu keras-keras.

Aku jadi malu, juga kaget, kenapa sampai mas Jon bilang gitu sama aku. Keluar dari mulut macan, masuk ke mulut harimau pikirku.

"Dik, kok diam, melamunkan dia ya."

Kurang ajar pikirku, langsung aja kucubit pinggangnya karena meledek aku terus.
"Aduh sakit..sakit."

Mas Jon teriak kesakitan apa kesenengan ya pikirku.

Kemudian mas Jon menghentikan motornya di sisi taman kota.

"Loh mas kenapa berhenti disini?"
tanpa berkata-kata, tanganku ditariknya menuju taman dan kami duduk di taman itu.

"Ada yang mau kukatakan padamu dik," kembali tangannya memegang tanganku, tatapannya aduh terasa menusuk kerelung jiwaku yang paling dalam. Kupandangi mata itu, penuh dengan kasih sayang dan kedamaian serta ada kejujuran di sana.

"Dik, maukah kamu jadi pacarku?" tatapannya semakin membuat aku tak kuasa menahannya.

"Tolong jawab dik, kalau kamu tak mau jadi pacarku, aku akan menjauhimu, mungkin memang aku tak pantas jadi pacarmu."

Aku kembali terdiam, gimana aku menjawabnya, aku bingung dan malu.

"Kalau diam berarti iya kan, mau kan." 

Dia semakin mencari jawabanku dan terus memandangiku, hingga aku tertunduk malu.

Aku tau sudah lama dia baik sama aku, kata teman-temanku sudah lama mas Jon naksir aku, tapi aku orangnya bebas sering gonta ganti teman cowok, hingga mas Jon segan dan enggan mendekati aku, namun kini mas Jon memberanikan diri untuk menyatakan cintanya padaku.

Ya Tuhan harus bagaimana aku.

Akhirnya aku menganggukkan kepalaku tanda menyetujui untuk menjadikan mas Jon pacarku.

Sontak mas Jon meloncat kegirangan.

"Yes, terima kasih ya Allah telah kau kabulkan doa-doaku."

Kulihat hatinya berbunga-bunga mendengar jawabanku melalui isyarat anggukan kepalaku. 

"Makasih ya dik, mulai sekarang tak ada lagi yang mengganggumu, karena ada aku pengawal setiamu."
"Ah gombal kamu mas," jawabku malu-malu.
Sejak saat itu hari-hariku dipenuhi rasa kebahagiaan, mas Jon selalu ada untukku, selalu mengerti tentang aku.

Selamat tinggal cinta gila Romy, gadis tomboi yang ternyata lesbi, dia menganggap kalau aku juga mencintainya seperti dia mencintaiku. Mulanya aku tak tau kalau dia seperti itu, ternyata aku telah jadi korbannya, dia seolah berperan sebagai cowokku, dia terlalu mengharapkan agar aku jadi pacarnya. Pacar gilanya, aku masih normal, aku cewek normal yang terjebak oleh cintanya yang gila.

Syukur alhamdulillah aku masih terjaga, masih di lindungi Allah dan masih ada yang menerimaku apa adanya, makasih mas Jon yang telah lama memendam cintanya untukku dan dengan sabar menemani hari-hariku. Semoga cinta kita abadi selamanya.



****END****




Admin Jurnal Papadaan

Cinta Putih Abu-abu Karya Padmi Asmadiwati

(Ilustrasi Gambar Oleh Penerbit Cahaya Pelangi Media)

Masa yang paling indah untuk dikenang adalah masa-masa di SMA. Semua pasti pernah mengalaminya termasuk diriku. Orang sering menyebutnya masa SMA adalah masa putih abu-abu. Masa dimana sering terjadi pergolakan, masa transisi, masa puber, atau masa peralihan. Sebagian temanku mengalami masa puber saat di SMP bahkan saat dibangku SD ada yang sudah merasakan pubertas, karena selain usia sudah tua juga pengaruh pergaulan dan tontonan. Sedangkan aku setelah masuk SMA baru merasakan perubahan itu. Karena selain usiaku memang masih sangat muda sekali diantara teman sekelasku, sebab waktu masuk SD usiaku baru lima tahun, jadi saat SMA aku masih muda sekali dan baru merasakan masa pubertas dan baru mengalami menstruasi saat kelas dua SMA. Memang terlambat kata temanku, selain usiaku yang masih muda juga karena pergaulanku sama anak laki-laki semua dan aku jarang nonton film yang bertema pacaran ataupun aku tak pernah buka buku-buku porno seperti teman-temanku. Buku bacaanku justru komik, bobo, ananda, sifatku juga masih kekanak-kanakan.

Disaat kelas dua SMA, aku disenangi beberapa cowok di kelasku juga kakak kelasku, namun aku sendiri masih bingung dan belum ada rasa sreg dengan mereka. Bahkan ada yang nekad kirim surat cinta ada yang nembak langsung. Aku jadi merasa risih dengan mereka. Sampai-sampai ada yang mengatakan aku tak normal.

”Hai Dinda, kamu ini sadar nggak sih, kamu ini cantik, pintar, banyak yang suka, kenapa tak satupun cowok yang kamu terima untuk jadi pacarmu?” tanya Dony sahabatku.

”Aku takut pacaran Don” jawabku singkat

Dony justru tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawabanku tadi. 

”Apa, kamu takut pacaran, aneh, banyak gadis pada iri sama kamu, cowok-cowok pengen mendekatimu dan mau jadi pacarmu, normal enggak sih kamu Din?” kembali Dony tak percaya sama jawabanku.

”Ya normal lah, kamu yang aneh bilang aku gak normal” aku semakin kesal sama Dony karena dianggap aku nggak normal.

”Ha..haa, maksudku kamu nggak lesby kan?” ejek Dony sambil setengah berlari karena takut aku pukul, ia berusaha untuk menghindari pukulanku yang siap mendarat dibahunya.

”Hei, kurang ajar kamu, apa kamu bilang aku lesby, dasar gila kamu ya Don” sambil ku kejar dia dan aku berusaha untuk mendapatinya untuk aku pukul karena sudah mengejek aku berlebihan.

Sepulang sekolah aku merenung sendiri dikamar, aku teringat kata–kata Dony siang tadi di sekolah. Apa benar aku nggak normal seperti kata Dony, padahal aku merasakan biasa saja. Wajar kan aku nggak berani pacaran, karena dikeluargaku, kalau masih sekolah memang tak dibolehkan pacaran sama ayah ibuku, karena takut mengganggu konsentrasi belajar. Keluargaku mengutamakan pendidikan nomor satu dan aku harus rengking satu dikelasku, sehingga tak ada waktu bagiku untuk santai ataupun pacaran seperti teman-temanku. Diotakku yang ada hanya belajar dan belajar itu saja, sehingga aku sering juara satu sejak SD hingga SMA ini, dan orang tuaku bangga dengan prestasiku.

Di SMA aku dekat dengan Dony dan Dory, mereka teman akrabku sejak SMP, dan kami seperti saudara yang tak bisa terpisahkan. Memang orang sering mengatakan kalau aku ini gadis tomboy, wajar karena aku sering berteman dengan cowok, dandanan rambutku, gaya bicaraku, sikapku juga seperti anak cowok, nggak ada feminim sedikitpun. Sampai orang sering memanggil kami 3D/TrioD( Dony, Dinda dan Dory). Aku dan Dony kebetulan satu kelas dan satu jurusan IPA sedang Dory di kelas IPS, kami terpisah kelas saat kelas dua SMA. Semua orang tahu kalau kami bertiga bersahabat sudah lama. Namun masih saja ada cowok atau cewek yang sering marah atau curiga sama kami bertiga. Pernah ada cewek namanya Sonia, jatuh cinta sama Dony, anak IPS, setiap hari mencari Dony, dan setiap kali melihat kedekatanku sama Dony, Sonia selalu marah-marah dan jutek sama aku, dikira aku mau merebut Dony darinya. Padahal Dony sendiri cuek dan gak perduli sama Sonia, Dony tetap saja mendekati aku dan kemana-mana kami selalu berdua kadang bertiga sama Dory.

Suatu ketika Sonia mendatangiku di kantin sekolah bersama ketiga sahabatnya Sonia yaitu Tita dan Nana.

”Hei Dinda, mana Dony? Tanya Sonia penuh semangat.

”Entahlah aku tak tahu” jawabku singkat

”Biasanya kan sama kamu, jangan-jangan kamu ini diam-diam pacaran ya sama Dony? ” tanya Sonia sedikit cemburu.

”Eh denger ya Sonia, aku gak ada pacaran sama Dony, kalau gak percaya tanya saja sama Dony”

”Alah, mana ada maling ngaku, paling Dony juga nggak bakalan ngaku” kata Nana

”Ya sudah kalau kalian nggak percaya” kuangkat kaki pergi meninggalkan mereka.

”Hei, tunggu, main pergi saja kamu” kejar Tita sahabat Sonia.

”Eh aku nggak ada urusan ya sama kalian” jawabku sambil kupercepat langkahku menuju kelasku.

Di dalam kelas kulihat Dony sedang asik ngobrol sama Edo ketua kelasku yang selama ini sering ngasih perhatian sama aku dan sering kirim surat cinta sama aku lewat Dony. Aku langsung saja duduk dibangkuku paling depan sama Lastri. Walaupun aku kurang akrab sama Lastri, karena aku paling nggak bisa berteman dengan cewek, terpaksa karena saat aku duduk dengan Dony dimarahi guru nggak boleh cowok duduk sebangku sama cewek, bahaya kata guru.

Kulihat Edo melirik kearahku, namun aku pura-pura tidak tahu, aku tahu sejak kelas satu SMA saat Mos dia sudah mencuri perhatianku dan sudah nembak sama aku lewat surat cintanya, tapi tak pernah aku balas, jadi dia merasa sungkan bila melihatku. Cinta terpendam kata teman-temanku. Beda dengan Jody, cowok paling agresip di kelasku, dia suka cari muka dan godain aku seenaknya, muka tembok dengan PD nya ia suka mancing-mancing keributan sama aku.

”Halo sayang, darimana aja kamu, tumben sendirian, biasanya sama ayang Dony” kembali Jody menggodaku dan tiba-tiba ia duduk diatas mejaku. Sontak saja aku berdiri dan ingin aku mencakar mukanya, baru saja aku menggenggam tanganku, tiba-tiba tanganku diraih Dony dari belakang.

”Eh sudah-sudah, yang waras ngalah, Jody, jangan macam-macam kamu sama cewek”

”Yah yang punya cewek marah” kembali Jody bikin kelas gaduh. 

Untung bel segera berbunyi dan kami segera siap-siap untuk menerima materi pelajaran terakhir hari ini. Mataku melirik Dony yang menahan amarah sama Jody, kulihat Edo juga geram sama kelakuan Jody, tapi tak berani berkata apa-apa.

Setelah bel pulang sekolah aku segera menuju tempat parkir sepeda. Dony berusaha mengejar aku, tapi aku berusaha untuk menghindarinya, aku tak mau Sonia salah paham sama aku dan Dony. Kulihat ditempat parkir ada Edo yang ternyata parkir sepedanya mepet dengan sepedaku. ”Maaf, biar aku pinggirkan dulu sepedaku” kata Edo sopan. Aku sendiri diam saja sambil berusaha untuk menepi agar Edo bisa mengeluarkan sepedanya terlebih dahulu. Kulihat di kejauhan Dony nampak memperhatikanku sama Edo, tapi aku tak memperdulikannya, toh aku tak melakukan apa-apa sama Edo. Setelah Edo mengambil sepedanya dan pamit duluan pulang, tinggal aku segera mengambil sepeda dan terus melaju pulang. Dony nampak bingung dan tak mengerti apa yang telah terjadi, mungkin dia heran dengan sikapku tadi yang tak seperti biasanya. 

Diperjalanan pulang rupanya Dony masih penasaran dan mengejarku dengan sepedanya. Nasib sial sedang menghantuiku, sepedaku bocor ban, mau nggak mau aku berhenti dan kupinggirkan, untung saja ada bengkel di dekat situ. Kemudian Dony menemaniku ke bengkel sepeda. Dia memandangku seolah penuh tanya apa yang terjadi sama aku.

”Din, hari ini kamu nampak aneh, ada apa ?” tanya dia setelah kami berhenti di bengkel.

”Aku nggak kenapa-kenapa”

”Gak mungkin kamu biasanya nggak seperti ini, apa aku salah sama kamu, kamu kelihatan mau menjauhiku”

”Oh, itu cuma perasaanmu saja, oya kamu tadi dicari Sonia”

”Sonia, ngomong apa dia sama kamu, aku jadi penasaran”

”Nggak ngomong apa-apa dia hanya cari kamu saja”

”Oh…. Eh iya Din, ini aku ada titipan surat buat kamu dari Edo”

”Edo….surat apa ?” kenapa tadi dia nggak ngasihkan sendiri sama aku demikian pikirku.

”Biasalah surat cinta.”

”Ah sudahlah dari dulu surat cinta terus, buat kamu saja”

”Hei Dinda, kamu ini aneh, masak surat cinta Edo buat aku, coba dong buka, biar kamu tahu isi hatinya.”

”Aku nggak perlu tahu, sudah tahu.”

”Masak sih, coba dong Din, buka isi hatimu, Edo itu serius lo sama kamu, dia itu cinta banget sama kamu dari dulu, cuma kamunya aja yang jutek terus sama dia. Coba terima saja, biar kau nggak digoda terus sama Jody dan yang lainnya.”

Aku diam sesaat, kucoba lihat raut wajah Dony, aku tahu sebenarnya Dony sungguh baik sama aku dan selalu menjagaku dari siapapun yang selalu menggodaku, tapi dia sahabatku, nggak mungkin juga Dony ada rasa sama aku. Sebenarnya aku tak perlu seorang pacar  buatku, aku cukup punya sahabat baik seperti Dony, dan Dory yang setiap saat menjagaku, menemaniku kemanapun aku pergi. Tapi banyak sekali yang melihat kedekatan kami, Sonia bisa marah-marah kalau aku dekat dengan Dony, Serly juga marah kalau melihat aku dengan Dory. Terus terang aku bahagia dan nyaman setiap ada didekat Dony, namun aku tak tahu perasaan apa yang sesungguhnya menghantuiku. Apakah aku mencintai sahabatku sendiri, apakah Dony juga memiliki perasaan yang sama terhadapku, tapi malu untuk mengungkapkannya. 

Cinta memang aneh dan sulit aku ungkapkan sama siapapun dan aku cukup memendamnya sendiri dilubuk hatiku yang terdalam. Aku lihat juga Dony sangat sayang dan perhatian sama aku melebihi siapapun, cuma Dony tak pernah mengungkapkan rasa cintanya terhadapku, dan surat-surat cinta dari Edo tak pernah aku buka dan baca, semua masih tersimpan dilaci mejaku. Entah aku tak berani untuk membukanya hingga aku lulus dari SMA dan aku sudah   harus pergi keluar kota untuk melanjutkan pendidikanku dibangku kuliah.

Saat aku mau pergi aku mengemasi semua barang-barangku, dan aku penasaran membuka surat demi surat dari kakak kelasku juga dari Edo. Bahkan surat terakhir dari Edo. Alangkah kagetnya  aku saat membaca surat yang ditulis rapi dan indah oleh Edo. Disurat terakhirnya, ia berkata kalau ia sadar ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan dan ia ingin mengalah demi aku bahagia bersama Dony. Ia mengatakan kalau sesungguhnya Dony juga mencintaiku, namun malu dan takut aku menolak cintanya dan takut aku tak mau bersahabat dengannya. Ya Tuhan, kenapa aku baru tahu isi surat itu. Kini aku tak tahu dimana sekarang mereka, dimana Dony, seolah mereka hilang dari kehidupanku. Tuhan dimanapun mereka berada aku ingin katakan kalau aku juga mencintainya. I love you Dony sahabat terbaikku, aku rindu akan hadirmu.


****SELESAI****


Admin Jurnal Papadaan

Hujan di Kala Senja Karya Nayla AR


Hujan di kala senja menapaki jejak nestapa, 

rindu bertaut benci di antara

luka mendalam

Aku memungut makna

sejak perpisahan kita

(Kotabaru, 23 November 2017)

Sudah lama sejak perpisahan itu, kita tak saling bicara. Bangunan tua tempat beradu kata pada pemilik hati yang saling mencintai telah ditumbuhi belukar lebat.

Tak ada satu jawabanpun yang berbisik di langit senja ketika matahari mulai kembali ke tempat tidurnya. 

“Ah, masa bodoh, kenapa aku selalu memikirkannya,” ucapku menggerutu. 

Kulanjutkan perjalanan ke dalam bilik-bilik bangunan ketika malam menyelimuti asa dalam sepi yang bertaut kenangan. 

Di sinilah aku mulai mengukir sajakku dengan pena, membayangkan sekelebat aroma gubuk tua yang sudah lama menyimpan cerita.

Dulu ketika camar merindukan bulan, kami duduk dalam alunan waktu, bercumbu mesra menghabiskan seperempat malam dalam balutan tawa bahagia.

Sabrella, itulah nama wanitaku! empat tahun lamanya dia pergi tanpa berbelas kasih untuk kembali.

Kudengar dia sudah berbalas cinta dengan seseorang yang telah memekarkan hatinya.

“Laki-laki itu bernama Syam!” ucap batinku. 

Mendengar namanya membuatku tak ingin melihatnya. 

“Aku marah ...., aku kesal ....,” gerutu batinku. Takku sangka wanita yang pernah kuperjuangkan dan kulindungi dari beberapa fitnah mantan kekasihnya begitu cepat menghapusku dari jejak hatinya.

Amarahku belum kunjung reda, kucoba menenangkan batin dan bercengkrama dalam sajak yang kutulis.

Semilir angin membawa kepalsuan

Di bilik-bilik kolong hati

Kau bersembunyi

Lari dari

kenyataan

Aku melihatmu

tak bertuan

(Kotabaru, 24 November 2017) 

Malam semakin memekat, saatnya untuk mengistirahatkan imaji cerita yang berbalut kisah lama. Dunia ini tak akan kaya tanpa dunia imaji yang selalu menghidupkan kisah dari dunia nyata atau fiktif belaka.

Aku sangat menikmati duniaku karena inilah jalanku beradu dalam kesepian jiwa.

Keesokan harinya seperti biasa, aku kembali mengayuh langkah kecilku mengitari batas-batas kota, menikmati setiap belaian kasih angin.

Duduk di antara barisan gerumunan orang yang berpadu kasih dengan mesranya. 

Tak sengaja wanita yang kulukis dalam ribuan sajak hati berpapasan denganku.

Persis sama di hari perpisahan itu. Tak banyak kata, semua senyap, hanya kedua mata yang saling berpandangan seperti ada misteri yang tak terpecahkan.

Kuberanikan diri untuk menyapa walau ragu membusuk dalam asa.

“Apa kabar Ella, sendiri saja,” ucapku singkat.

Matanya tajam menatap ke arahku kemudian berkata, “Iya kak, aku kebetulan lewat.” Sahutnya terkejut.

Entah apa yang dia pikirkan saat itu, kulihat bias wajahnya seperti menandakan rasa yang sama. Setelah percakapan singkat itu, dia pergi meninggalkan sejuta makna dari wajah lugunya.

“Ah, masa bodoh, kenapa aku memikirkannya lagi,” ucapku menghela nafas.

Lagi-lagi perasaan ini membuat kepalaku ingin memuntahkan bebannya. Rasa muak dengan pikiran yang seakan ingin kembali kepadanya.

Namun aku teringat setelah perpisahan kami beberapa tahun yang lalu dia sempat menulis sajak terakhir. 

Tubuh saling bersandar

Kearah mata angin berbeda

Kau menunggu datangnya malam

Saatku menanti fajar

Sudah kucoba berbagai cara

agar kita tetap bersama

Yang tersisa dari kisah ini

Hanya kau takut kuhilang

(Kotabaru, 14 Januari 2017)

Sajak yang dia tulis di beranda media sosial membuatku tersadar dalam harapan-harapan yang membuatku lupa akan makna perpisahan. Perpisahan memang membawa sejuta kesedihan dalam setiap insan.

Namun percayalah akan ada hikmah dalam setiap peristiwa hidup yang dialami. Dan aku memahami Tuhan menitipkan bukan untuk mempersatukan.

Malam sudah nampak dalam pelita, menandakan kidung pengantar tidur sudah terdengar. Aku belum juga memejamkan mata dan mengistirahatkan pikiran yang sudah berkecamuk.

Wajahnya dipertemuan singkat itu selalu menjadi pertanyaan batinku, “Kenapa sesingkat itu bertemu?” tanyaku.

Mulai kutelusuri makna tentang pertemuan singkat, mungkin saja ini awal untuk setiap baharu kisah dalam perjalananku. 

“Seharusnya dia juga merasakan kerinduan itu!” teriak batinku yang seakan ingin mengiba kepadanya.

“Ah, aku lelah!” sahutku.

Kututup jendela pikiran dan beristirahat sejenak dalam mimpi dan angan-angan tentangnya.

Keesokan harinya, pagi menyambutku dengan wajah baru dan angin terasa ingin berbisik menyampaikan pesan rindu.

Perlahan kukayuh langkah kecilku untuk mengitari bibir pantai. Aku ingin bercengkrama dengan gelora laut dan bersyair di atas karang.

Tak kunjung juga kutemukan isyarat peraduan kasih dipertemukan. Padahal aku sangat berharap berjumpa di pantai ini. 

Namun tiba-tiba hujanpun turun deras ketika senja menampakkan dirinya dari peraduan rindu yang mengukir namamu dalam sajak terakhirku.

Sabrella engkau tahu

inginku lebih dari

pertemuan rindu

Selalu namamu

yang mengusik

asaku

Adakah jawaban untuk penantian?

Kau hanya membisu

Diam tanpa kata

Membawa sejuta arti

untuk tetap menunggu

(Kotabaru, 25 November 2017)

Itulah sajak terakhir yang kukirim lewat hujan di kala senja.

Membisikkan kerinduan yang mendalam bagi asaku. Entah dipersatukan kembali dalam episode selanjutnya atau hanya bersahabat. Aku akan tetap menunggu walau tak berbalas.



****END****

Admin Jurnal Papadaan

Saranjana Karya Padmi Asmadiwati


Cerita misteri suatu kota mengundang rasa keingintahuan yang besar. Rasa penasaran tentang desas-desus masyarakat membuat kita tidak pernah menemukan titik muara kebenaran yang pasti. 

Saranjana adalah kota tak kasat mata yang berada di daerah Pulau Laut Kotabaru Kalimantan Selatan.

Konon kabarnya terdengar berita dari mulut kemulut tentang Kota Saranjana, sejak dulu.

Anehnya setiap orang yang sudah masuk ke Kota Saranjana, mereka tidak ingin pulang ke alam nyata karena takjub dengan keindahan kotanya.

Untuk kebenarannya tidak ada yang tahu semuanya masih menjadi tanda tanya yang tak bisa dipecahkan sampai sekarang.

Sebut saja Daffa seorang pengusaha muda dari Jakarta yang baru saja menginjakan kakinya di Kalimantan Selatan untuk mengelola bisnis batubara.

Daffa mencoba membuka peluang bisnis ke Kalimantan dengan harapan bisa lebih maju dari sebelumnya. Karena menurut kabar Kalimantan adalah surganya bagi para pengusaha.

Sebelum sampai ke Kotabaru, Daffa turun di Bandara Syamsudinoor Banjarmasin, kemudian menuju ke Kota Batulicin Tanah Bumbu sekitar 6-7 jam kemudian menyeberang naik kapal fery di pelabuhan batulicin menuju Kotabaru.

Berhubung hari sudah sore, Daffa akhirnya memutuskan untuk menginap di Hotel Ebony Batulicin.

Di hotel itu Daffa berkenalan dengan seorang yang baik hati dan ternyata salah satu pegawai hotel situ, namanya Dara, gadis yang cantik rupawan. 

Namun sayangnya Daffa baru saja menikah, jadi ia tak ada niat lain kecuali hanya berkenalan biasa saja sambil mencari informasi tentang Kalimantan.

Maklum ia tak punya saudara di Kalimantan. Anggap saja ia punya kawan baru di situ.

“Maaf, Bapak mau kemana sebenarnya?” tanya Dara petugas hotel itu tiba-tiba saat Daffa santai di lobi hotel.

Dara melihat sepertinya tamunya orang asing bukan orang daerah sekitar melihat penampilan Daffa yang agak lain dari pengunjung lainnya dan seorang diri di situ.

“Oh saya Daffa mba, saya mau ke Kotabaru, ke Kota Saranjana.” Jawab Daffa.

Begitu mendengar kata Saranjana, gadis itu terperanjat kaget.

“Ke Saranjana?” Dara mencoba mengulang perkataan Daffa.

“Iya Saranjana, memangnya ada apa dengan kota Saranjana?” sekarang ganti Daffa yang kaget dibuatnya, karena melihat ekspresi Dara yang nampak pucat setelah mendengar kata Saranjana.

“Oh enggak apa-apa pak.”

“Saya kok jadi penasaran ya, boleh kah saya tanya sesuatu ke mba Dara?”

Akhirnya Dara mendekat duduk di samping Daffa sambil mencoba menenangkan hatinya yang tak karuan.

“Sebenarnya saya tak mau cerita pak, tapi gimana ya, mungkin orang gak akan percaya sama cerita saya.”

Dara sambil melirik ke kanan ke kiri kalau-kalau ada orang yang mencurigainya. 

Padahal di Hotel gak ada satupun yang memperhatikan mereka berdua.

Karena pekerjaannya sudah selesai di hotel, seharusnya ia pulang karena sudah ganti ship, tapi Daffa memintanya untuk menemaninya sementara ia istirahat di Hotel tersebut.

“Sekali ini tolong kamu cerita ke saya, karena saya buta tentang Kalimantan dan baru pertama kali  ini saya ke sini, insyaalloh saya percaya kamu nggak akan membohongi saya.”

Daffa berusaha untuk membujuki Dara agar mau bercerita tentang kota yang mau ia tuju yaitu kota Saranjana.

“Untuk apa Bapak mau ke Saranjana?”

“Oh itu, saya mau buka usaha tambang di sana, saya mau survey dulu ke sana kalau cocok baru saya akan bawa partner saya ke sana.”

“Kalau bapak percaya saya, sebaiknya bapak urungkan niat bapak ke sana.”

“ Lo kenapa mbak?”

“Saya pernah ke sana pak sama ibu saya, saya berjualan pentol dan batagor untuk menyambung hidup saya setelah bapak saya meninggalkan ibu saya. Tahu-tahu saya dan ibu saya terdampar di sebuah kota yang ramai sekali penduduknya, dan kota itu indah sekali, belum pernah saya lihat di kota lain.”

Dara sangat antusias sekali bercerita, sementara Daffa serius mendengar cerita Dara gadis ayu pelayan hotel yang baru dikenalnya itu.

“Terus….”

“Dagangan kami laris manis pak, tapi suatu saat entah kenapa saat saya berjualan sendiri, waktu itu ibu saya baru ke toilet dekat masjid di seberang tempat kami berjualan pentol dan batagor, saya perhatikan baik-baik, orang-orang yang membeli dagangan kami yang semula terlihat cantik-cantik dan tampan, berubah seperti alien, mukanya rata semua. Kemudian saya tahu-tahu pingsan.” 

Kemudian Dara berhenti sejenak seperti tercekat tenggorokannya. Daffa pun langsung memberinya air aqua yang ada di atas meja lobi hotel tersebut.

“Ini kamu minum dulu.”

“Setelah itu saya sering sekali pingsan dibuatnya pak, terkadang saya teriak-teriak histeris seperti orang ketakutan dan kesetanan. Kata orang-orang saya kesurupan, terus menyuruh ibu saya untuk membawa saya berobat ke tabib atau orang pintar.”

“Terus apa yang dilakukan ibumu”

“Ya karena ibu saya juga orang awam menuruti saja kata orang-orang. Setelah dagangan kami habis dan mendapat uang banyak kami terus pulang malam itu juga ikut taksi yang sering kami tumpangi menuju Batulicin.”

“Akhirnya kamu bisa pulang?”

“Iya, sesampai di rumah kami terus mandi dan istirahat, terus membuka kaleng tempat uang kami saat jualan, eh ternyata…”

“Ternyata apa mba?”

“Di kaleng kami gak ada uang sama sekali, padahal sebelum pulang dan menyeberang kapal, kami lihat kaleng tempat uang itu banyak sekali uangnya, ada yang limah puluh ribu, duapuluh ribu, sepuluh ribuan bahkan ada beberapa uang ratusan ribu. Uangnya berubah jadi daun.”

Daffa mendengar hal itu rasanya antara percaya dan tidak, rasanya semua kejadian yang diceritakan Dara itu aneh dan tidak masuk akal. Tapi ia yakin kalau Dara tidak berkata bohong.

“Terus apa yang kamu lakukan sama ibumu?”

“Yah ibuku sempat syok juga melihat kejanggalan itu. Terus kami ketempat orang pintar, katanya memang di Saranjana kota penuh misteri itu ada, dan semua ghaib. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat kota itu dan sampai ke situ, ada pula yang hilang tak bisa kembali pulang. Dulu pernah ada orang dari Jakarta mengirim alat-alat berat katanya ada pengusaha dari Saranjana pesan alat berat tersebut, setelah alat dikirim ternyata gak ditemukan kota Saranjana tersebut.”

Mendengar cerita Dara, Daffa jadi merinding sendiri, bulu kuduknya berdiri dan bergelayut perasaan aneh menyelimuti pikirannya. Ia jadi berfikir dua kali untuk melanjukan perjalanannya Ke kota Saranjana.

“Terus apa yang kamu lakukan setelah peristiwa itu?”

“Saya dan ibu saya dirukiyah sama Habib, dan didoakan untuk keselamatan kami berdua, setelah itu kami tak berani lagi jualan ke sana, kami membuka usaha batagor di Batulicin saja, dan saya melamar jadi pelayan hotel disini, atas bantuan Habib yang mengobati kami kebetulan kenal sama yang punya hotel ini.”

“Maaf apa mbak ini indigo ya, jadi bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata atau barang-barang yang ghaib?”

“Iya, kata guru saya saya punya indera keenam dan indigo, jadi saya harus banyak-banyak dzikir dan sholawat agar pikiran saya gak kemana-mana dan tak mudah kerasukan kata guru spiritual saya.”

“Oh, syukurlah kalau begitu, makasih banyak ya mbak informasinya, untung saya ketemu mbak Dara, coba kalau enggak, bisa-bisa saya terdampar di sana dan tak bisa pulang, kasihan istri saya.”

“Iya untung ya pak, kalau bapak jadi ke sana siapa tahu bapak disukai makhluk penghuni sana dan gak bisa pulang ke Jakarta gimana?”

Dara mulai menggoda dan menakut-nakuti Daffa, Mereka berdua akhirnya tertawa, padahal dalam hati ketakutan juga setelah mengetahui cerita tentang kota Saranjana.

“Makasih ya mbak, saya berterimakasih sekali sudah mbak kasih tahu, insyaalloh saya besok gak jadi ke Saranjana saja, saya mau mencari di daerah sini saja, siapa tahu saya bisa membuka usaha di sini, doakan ya mbak.”

“Oh iya pak, maaf ya kalau gara-gara saya bapak gak jadi kesana.”

“Gak apa-apa mbak, justru saya yang berterima kasih sama mbak, oh ya rumah mbak dimana, mau pulang malam ini juga?”

“Oh saya daerah sini saja kok pak, paling sepuluh menit sampai rumah saya, maaf saya permisi pulang dulu ya pak, selamat beristirahat.”

Kemudian Dara beranjak dari lobi hotel melangkah untuk pulang setelah berpamitan dan mengucapkan selamat malam sama Daffa. 

Malampun semakin larut, Daffa  segera beranjak menuju kamar hotel tersebut. Cerita Dara gadis pelayan hotel tersebut masih terbayang dalam ingatannya tentang kota yang penuh misteri Kota Saranjana. 

Untuk menghilangkan rasa takutnya, Daffa kemudian mengambil air wudhu untuk sembahyang Isya sekalian membaca surah yasin yang ia bawa kemana-mana dalam tas ranselnya. Ia berharap bisa istirahat malam itu tanpa gangguan apapun, apalagi tentang cerita misteri kota Saranjana.


****SELESAI****